Matematika, Siapa Takut???

Minggu, 18 November 2012


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.      Matematika, Siapa Takut???
Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan penting dalam dunia pendidikan, karena dapat dilihat dari waktu jam pelajaran disekolah yang lebih banyak dibandingkan pelajaran yang lainnya. Mengingat pentingnya pendidikan matematika perlu dilakukan suatu perencanaan dan perbaikan cara belajar yang dapat meningkatkan pemahaman siswa.
Pentingnya penguasaan dan banyaknya manfaat di bidang matematika membuat banyak pihak menaruh perhatian terhadap proses penguasaan matematika dalam konteks pendidikan. Semua pihak berupaya agar siswa dapat menguasai matematika. Ironisnya banyak siswa takut akan pelajaran matematika.
Firngadi (1997, h.8) menambahkan bahwa matematika merupakan salah satu pelajaran yang menurunkan semangat siswa. Matematika telah diberi label negatif dikalangan siswa, yaitu sebagai pelajaran yang sulit, menakutkan, dan membosankan, sehingga menimbulkan minat yang rendah untuk belajar.
Anastasi & Urbina (1997, h.29) menyatakan bahwa minat mempengaruhi perilaku manusia, diantaranya dalam hubungan interpersonal, prestasi pendidikan dan pekerjaan, serta pemilihan aktivitas di waktu senggang.
Minat belajar yang besar cenderung menghasilkan prestasi yang tinggi, sebaliknya minat belajar yang kurang akan menghasilkan prestasi yang rendah (Dalyono, 1997, h.57). Individu cenderung memberikan perhatian yang lebih besar terhadap bidang-bidang yang diminatinya. Rendahnya minat siswa Indonesia untuk mempelajari matematika ditunjukkan dengan rendahnya prestasi yang diraih oleh siswa Indonesia. Data dari UNESCO menyatakan bahwa peringkat matematika siswa Sekolah Menengah Pertama Indonesia berada di deretan 34 dari 38 negara (Asosiasi Guru Matematika Indonesia, 2008, h.1).
Minat belajar yang dimiliki oleh siswa tidak lepas dari faktor sekolah sebagai lingkungan belajar, karena minat berkaitan dengan kepuasan yang dimiliki siswa terhadap sekolahnya. Hurlock (1999, h.141-142) mengemukakan bahwa terdapat berbagai cara anak menunjukkan sikap mereka terhadap sekolah ketika sekolah mereka pandang sebagai hal yang tidak menguntungkan, beberapa diantaranya dapat dilihat dari merosotnya minat yang menimbulkan kebosanan, dan prestasi yang menurun.
Dalyono (1997, h.59) mengemukakan bahwa keadaan sekolah tempat belajar turut mempengaruhi tingkat keberhasilan belajar. Kualitas guru, metode mengajarnya, kesesuaian kurikulum dengan kemampuan anak, keadaan fasilitas atau perlengkapan di sekolah, keadaan ruangan, dan jumlah murid per kelas.

B.       Model Pembelajaran
Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif). Pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi (kontek), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar.
Pendekatan RME banyak ditentukan oleh Freudenthal, dua diantaranya adalah mathematics must be connected to reality and mathematics as human activity. Berdasarkan pemikiran tersebut, RME mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994) dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia ril.
Pada saat ini, RME mendapat perhatian dari berbagai pihak, baik dari guru, siswa, orang tua, dosen LPTK (teacher educator), dan juga pemerintah. Beberapa wilayah di Indonesia telah melakukan ujicoba pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan RME dalam skala terbatas.
Konsep-konsep RME menurut Freudenthal yang berkaitan dengan pembelajaran matematika (Suryanto, 2007:8) adalah:
1.    Matematisasi, artinya bahwa ilmu tidak lagi hanya sekedar kumpulan pengalaman, ilmu melibatkan kegiatan mengorganisasi pengalaman dengan menggunakan matematika dengan menggunakan matema-tika yang disebut mathematizing (matematisasi atau mematematika-kan). Ada dua macam matematisasi, yaitu matematisasi vertikal dan matematisasi horizontal. Matemati-sasi horisontal adalah matematisasi pengalaman matematis dari realitas, sedangkan matematisasi matematika disebut matematika vertikal. Dengan kata lain, proses menghasilkan pengetahuan (konsep, prinsip, model) matematis dari masalah kontekstual sehari-hari termasuk matematisasi horisontal. Matematisasi vertikal adalah proses menghasilkan konsep, prinsip, model matematis baru dari pengetahuan matematika. Ada pun kedudukan matematisasi horizontal dalam RME yaitu masalah diberikan sebagai titik awal pembelajaran. Dengan mencoba memecahkan masalah itu diharapkan murid menemukan konsep matematis, atau prinsip matematis atau model.   
2.    Matematika sebagai Produk Jadi dan Matematika sebagai kegiatan, Pembelajaran yang berdasarkan paham bahwa matematika harus diajarkan sebagai barang jadi atau sebagai sistem deduktif, menghasilkan pandangan bahwa matematika tidak berguna, kering, karena pembelajaran matematika hanya berisi kegiatan menghafalkan aksioma, definisi, teorema, serta penerapannya pada soal-soal. Pembelajaran matematika akan jauh lebih bermanfaat apabila menekankan matematika sebagai kegiatan.
3.    Kegiatan atau Aktivitas, Pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dengan cara penemuan akan lebih dipahami dan lebih awet dalam ingatan daripada pengetahuan atau kecakapan yang diperoleh dengan cara pasif.
4.    Re-invention atau penemuan, artinya bahwa kegiatan pembela-jaran matematika harus berdasarkan pada penafsiran dan analisis matematika.
Menurut Zulkardi (2006: 4), teori RME terdiri dari lima karakteristik yaitu:
1.    penggunaan real konteks sebagai titik tolak dalam belajar matematika;
2.    penggunaan model yang menekankan penyelesaian secara informal sebelum menggunakan cara formal atau rumus;
3.    mengaitkan berbagai topik dalam matematika;
4.    penggunaan metode interaktif dalam belajar matematika
5.    menghargai ragam jawaban dan kontribusi siswa.
Menurut TIM MKPBM (2003: 147) terdapat lima prinsip utama dalam kurikulum matematika realistik, yaitu:
a.    Didominasi oleh masalah konteks, melayani dua hal yaitu sebagai sumber dan sebagai terapan konsep.
b.   Perhatian diberikan pada pengembangan model, situasi, skema, dan simbol-simbol.
c.   Sumbangan dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif.
d.  Interaktif sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika.
e.   Interwinning (membuat jalinan) antartopik atau antarpokok bahasan.
Asmin (2006) menggambar-kan tentang keunggulan dan kelemahan RME yang disajikan pada tabel  berikut:
Kelemahan dan Keunggulan RME
Keunggulan
Kelemahan
1.    Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya
2.    Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan belajar matematika
3.    Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada nilainya
4.    Memupuk kerjasama dalam kelompok
5.    Melatih keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya
6.    Melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat
7.    Pendidikan budi pekerti, misalnya: saling kerjasama dan menghormati teman yang sedang berbicara
1.    Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam menemukan sendiri jawabannya
2.    Membutuhkan waktu yang lama terutama bagi siswa yang lemah
3.    Siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar ntuk menanti temannya yang belum selesai
4.    Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu


Menurut Suryanto ( 2007: 8), Pendidikan Matematika Realistik memiliki  ciri khusus, yaitu:
1.    Pengenalan konsep-konsep matematis baru dilakukan dengan memberikan kepada murid-murid realistic contextual problem (masalah kontekstual yang Realistik).
2.    Dengan bantuan guru atau bantuan temannya, murid-murid dipersilakan memecahkan masalah kontekstual yang realistic. Dengan demikian, diharapkan murid-murid re-invent (menemukan) konsep atau prinsip-prinsip matematis atau menemukan model.
3.    Setelah menemukan penyelesaian, murid-murid diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian mereka (yang biasanya ada yang berbeda, baik jalannya maupun hasilnya)
4.    Murid-murid dipersilakan untuk merefleksi (memikirkan kembali) apa yang telah dikerjakan dan apa yang telah dihasilkan, baik hasil kerja mandiri maupun hasil diskusi.
5.    Murid juga dibantu agar mengaitkan beberapa isi pelajaran matematika yang memang ada hubunganya.
6.    Murid-murid diajak mengembang-kan, atau memperluas, atau meningkatkan, hasil hasil dari pekerjaanya agar menemukan konsep atau prinsip matematis yang lebih rumit.
7.    Menekankan matematika sebagai kegiatan bukan sebagai produk jadi, atau hasil siap pakai. Untuk mempelajari matematika sebagai kegiatan, cara yang cocok adalah learning by doing (belajar dengan mengerjakan matematika).