BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Matematika,
Siapa Takut???
Matematika
merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan penting dalam dunia
pendidikan, karena dapat dilihat dari waktu jam pelajaran disekolah yang lebih
banyak dibandingkan pelajaran yang lainnya. Mengingat pentingnya pendidikan
matematika perlu dilakukan suatu perencanaan dan perbaikan cara belajar yang
dapat meningkatkan pemahaman siswa.
Pentingnya penguasaan dan banyaknya manfaat di
bidang matematika membuat banyak pihak menaruh perhatian terhadap proses
penguasaan matematika dalam konteks pendidikan. Semua pihak berupaya agar siswa
dapat menguasai matematika. Ironisnya banyak siswa takut akan pelajaran
matematika.
Firngadi (1997, h.8) menambahkan bahwa matematika merupakan
salah satu pelajaran yang menurunkan semangat siswa. Matematika telah diberi
label negatif dikalangan siswa, yaitu sebagai pelajaran yang sulit, menakutkan,
dan membosankan, sehingga menimbulkan minat yang rendah untuk belajar.
Anastasi & Urbina (1997, h.29) menyatakan bahwa
minat mempengaruhi perilaku manusia, diantaranya dalam hubungan interpersonal,
prestasi pendidikan dan pekerjaan, serta pemilihan aktivitas di waktu senggang.
Minat belajar yang besar cenderung menghasilkan
prestasi yang tinggi, sebaliknya minat belajar yang kurang akan menghasilkan
prestasi yang rendah (Dalyono, 1997, h.57). Individu cenderung memberikan perhatian
yang lebih besar terhadap bidang-bidang yang diminatinya. Rendahnya minat siswa
Indonesia untuk mempelajari matematika ditunjukkan dengan rendahnya prestasi
yang diraih oleh siswa Indonesia. Data dari UNESCO menyatakan bahwa peringkat
matematika siswa Sekolah Menengah Pertama Indonesia berada di deretan 34 dari
38 negara (Asosiasi Guru Matematika Indonesia, 2008, h.1).
Minat belajar yang dimiliki oleh siswa tidak lepas
dari faktor sekolah sebagai lingkungan belajar, karena minat berkaitan dengan
kepuasan yang dimiliki siswa terhadap sekolahnya. Hurlock (1999, h.141-142)
mengemukakan bahwa terdapat berbagai cara anak menunjukkan sikap mereka
terhadap sekolah ketika sekolah mereka pandang sebagai hal yang tidak
menguntungkan, beberapa diantaranya dapat dilihat dari merosotnya minat yang
menimbulkan kebosanan, dan prestasi yang menurun.
Dalyono (1997, h.59) mengemukakan bahwa keadaan
sekolah tempat belajar turut mempengaruhi tingkat keberhasilan belajar.
Kualitas guru, metode mengajarnya, kesesuaian kurikulum dengan kemampuan anak,
keadaan fasilitas atau perlengkapan di sekolah, keadaan ruangan, dan jumlah
murid per kelas.
B.
Model
Pembelajaran
Sejak
tahun 1971, Institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis
terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics
Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana
siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh
dipandang sebagai passive receivers of
ready-made mathematics (penerima pasif). Pendidikan harus mengarahkan siswa
kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali
matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari
berbagai situasi (kontek), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber
belajar.
Pendekatan
RME banyak ditentukan oleh Freudenthal, dua diantaranya adalah mathematics must be connected to reality and
mathematics as human activity. Berdasarkan pemikiran tersebut, RME
mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus
diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994)
dan bahwa penemuan kembali (reinvention)
ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai
situasi dan persoalan dunia ril.
Pada
saat ini, RME mendapat perhatian dari berbagai pihak, baik dari guru, siswa,
orang tua, dosen LPTK (teacher educator),
dan juga pemerintah. Beberapa wilayah di Indonesia telah melakukan ujicoba
pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan RME dalam skala terbatas.
Konsep-konsep
RME menurut Freudenthal yang berkaitan dengan pembelajaran matematika
(Suryanto, 2007:8) adalah:
1.
Matematisasi, artinya bahwa ilmu tidak
lagi hanya sekedar kumpulan pengalaman, ilmu melibatkan kegiatan mengorganisasi
pengalaman dengan menggunakan matematika dengan
menggunakan matema-tika yang disebut mathematizing
(matematisasi atau mematematika-kan). Ada dua macam matematisasi, yaitu
matematisasi vertikal dan matematisasi horizontal. Matemati-sasi horisontal
adalah matematisasi pengalaman matematis dari realitas, sedangkan matematisasi
matematika disebut matematika vertikal. Dengan kata lain, proses menghasilkan
pengetahuan (konsep, prinsip, model) matematis dari masalah kontekstual
sehari-hari termasuk matematisasi horisontal. Matematisasi vertikal adalah
proses menghasilkan konsep, prinsip, model matematis baru dari pengetahuan
matematika. Ada pun kedudukan matematisasi horizontal dalam RME yaitu masalah
diberikan sebagai titik awal pembelajaran. Dengan mencoba memecahkan masalah
itu diharapkan murid menemukan konsep matematis, atau prinsip matematis atau
model.
2.
Matematika sebagai
Produk Jadi dan Matematika sebagai kegiatan, Pembelajaran yang berdasarkan
paham bahwa matematika harus diajarkan sebagai barang jadi atau sebagai sistem
deduktif, menghasilkan pandangan bahwa matematika tidak berguna, kering, karena
pembelajaran matematika hanya berisi kegiatan menghafalkan aksioma, definisi,
teorema, serta penerapannya pada soal-soal. Pembelajaran matematika akan jauh
lebih bermanfaat apabila menekankan matematika sebagai kegiatan.
3.
Kegiatan atau
Aktivitas, Pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dengan cara penemuan akan
lebih dipahami dan lebih awet dalam ingatan daripada pengetahuan atau kecakapan
yang diperoleh dengan cara pasif.
4.
Re-invention atau
penemuan, artinya bahwa kegiatan pembela-jaran
matematika harus berdasarkan pada penafsiran dan analisis matematika.
Menurut
Zulkardi (2006: 4), teori RME terdiri dari lima karakteristik yaitu:
1.
penggunaan real konteks
sebagai titik tolak dalam belajar matematika;
2.
penggunaan model yang
menekankan penyelesaian secara informal sebelum menggunakan cara formal atau
rumus;
3.
mengaitkan berbagai
topik dalam matematika;
4.
penggunaan metode
interaktif dalam belajar matematika
5.
menghargai ragam
jawaban dan kontribusi siswa.
Menurut TIM MKPBM (2003: 147) terdapat lima prinsip
utama dalam kurikulum matematika realistik, yaitu:
a.
Didominasi oleh masalah konteks,
melayani dua hal yaitu sebagai sumber dan sebagai terapan konsep.
b. Perhatian
diberikan pada pengembangan model, situasi, skema, dan simbol-simbol.
c. Sumbangan
dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi konstruktif
dan produktif.
d. Interaktif
sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika.
e. Interwinning
(membuat jalinan) antartopik atau antarpokok bahasan.
Asmin (2006) menggambar-kan tentang keunggulan dan kelemahan RME yang disajikan
pada tabel berikut:
Kelemahan dan Keunggulan RME
Keunggulan
|
Kelemahan
|
1.
Karena siswa
membangun sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya
2.
Suasana dalam
proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas kehidupan,
sehingga siswa tidak cepat bosan belajar matematika
3.
Siswa merasa
dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada nilainya
4.
Memupuk
kerjasama dalam kelompok
5.
Melatih
keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya
6.
Melatih siswa
untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat
7.
Pendidikan budi
pekerti, misalnya: saling kerjasama dan menghormati teman yang sedang
berbicara
|
1.
Karena sudah
terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam
menemukan sendiri jawabannya
2.
Membutuhkan
waktu yang lama terutama bagi siswa yang lemah
3.
Siswa yang
pandai kadang-kadang tidak sabar ntuk menanti temannya yang belum selesai
4.
Membutuhkan alat
peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu
|
Menurut
Suryanto ( 2007: 8), Pendidikan Matematika Realistik memiliki ciri khusus, yaitu:
1.
Pengenalan
konsep-konsep matematis baru dilakukan dengan memberikan kepada murid-murid realistic contextual problem (masalah
kontekstual yang Realistik).
2.
Dengan bantuan guru
atau bantuan temannya, murid-murid dipersilakan memecahkan masalah kontekstual
yang realistic. Dengan demikian, diharapkan murid-murid re-invent (menemukan)
konsep atau prinsip-prinsip matematis atau menemukan model.
3.
Setelah menemukan
penyelesaian, murid-murid diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian mereka
(yang biasanya ada yang berbeda, baik jalannya maupun hasilnya)
4.
Murid-murid
dipersilakan untuk merefleksi (memikirkan kembali) apa yang telah dikerjakan
dan apa yang telah dihasilkan, baik hasil kerja mandiri maupun hasil diskusi.
5.
Murid juga dibantu agar
mengaitkan beberapa isi pelajaran matematika yang memang ada hubunganya.
6.
Murid-murid diajak
mengembang-kan, atau memperluas, atau meningkatkan, hasil hasil dari
pekerjaanya agar menemukan konsep atau prinsip matematis yang lebih rumit.
7. Menekankan matematika sebagai kegiatan bukan sebagai produk
jadi, atau hasil siap pakai. Untuk mempelajari matematika sebagai kegiatan,
cara yang cocok adalah learning by doing
(belajar dengan mengerjakan matematika).